Jumat, 07 Agustus 2015

Mad Max short story

Sutradara : George Miller
Pemain : Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Rosie Huntington-Whiteley, Hugo Weaving
Tanggal Rilis : 15 Mei 2015 (Indonesia)
Score : 7 / 10


Pada akhirnya butuh waktu 30 tahun bagi George Miller untuk menghidupkan masterpiece-nya kembali, 30 tahun yang penuh liku karena sejatinya ide untuk meneruskan proyek baru Mad Max sudah ada sejak tahun 1998, tetapi masalah demi masalah kemudian bermunculan menghalangi kelahirannya, dari peristiwa terorisme World Trade Center 2001 lalu, kejatuhan dollar Australia yang beimbas pada bengkaknya anggaran produksi, larangan pemerintah Amerika untuk melakukan syuting di wilayah konflik Nambia, perang Irak, gonta-ganti skrip yang berimbas kehilangan sang jagoan Mel Gibson yang dianggap sudah terlalu uzur membawakan peran yang melambungkan namanya itu. Tetapi, here we are, setelah bertahun-tahun didera spekulasi tak jelas, versi terbaru Mad Max yang diberi tajuk Fury Road pun hadir dengan dukungan amunisi baru, dan George Miller yang kembali duduk di bangku sutradara siap mengulangi kegilaan yang pernah dilakukannya 30 tahun lalu.


Tom Hardy adalah Max Rockatansky yang baru di tandusnya Australia pasca kiamat. Tidak banyak yang kita ketahui soal jagoan kita ini selain ia adalah mantan polisi dengan masa lalu kelam yang sialnya, berada di tempat dan waktu yang salah. Di tangkap dan dijadikan bank darah oleh para War Boys dari klan bengis pimpinan Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne), Max kemudian terlibat dalam aksi kejar-kejaran skala besar yang melibatkan pengkhiantan oleh Imperator Furiosa (Charlize Theron) dengan War Rig-nya yang membawa serta ‘harta karun’ milik Immortan Joe.
Tidak pernah mudah mengulangi kesuksesan yang sama dengan film yang sama, apalagi jika itu adalah franchise yang tertidur sangat lama. Tetapi selalu ada pengecualian untuk kasus Mad Max: Fury Road. Pertama, ia berada di tangan yang tepat. Ya, tidak ada yang lebih mengenal dunia gersang dengan segala kekacauannya ketimbang sang kreator, George Miller. Sulit dipercaya setelah melihat apa yang terjadi di 120 menitnya di buat oleh sutradara yang Maret lalu genap berusia 70 tahun. Kedua, Fury Road punya budget raksasa yang berhasil dimaksimalkan penuh oleh Miller dengan gaya dan ciri khas Mad Max yang kita kenal, brutal dan keras, bersama polesan spesial efek modern termasuk pengunaan format 3D yang maksimal. belum lagi dukungan cast-nya dengan nama-nama yang tak main-main, hasilnya, Fury Road berhasil tampil menonjok keras semua ekspektasi,  menjadikannya film aksi terbaik 2015 sejauh ini yang membuat action kejar-kejaran lain macam Fast & Furious 7 terlihat seperti balapan odong-odong.


Brutal, kotor dan gersang, dunia Mad Max versi modern tidak sesunggunya berbeda jauh dengan para pendahulunya, termasuk dunia distopia masa depan yang didominasi oleh tanah-tanah tandus, sistem sosial yang kacau lengkap manusia-manusia terdegradasinya akibat perang nuklir di masa lalu. Hanya saja kali ini naskah yang ditulis Miller bersama dua koleganya, Brendan McCarthy dan Nico Lathouris mencoba tampil lebih bermakna dengan segala elemen kemanusiaannya ketimbang meributkan konflik energi dan kekuasaan seperti pendahulunya. Digarap simpel namun sangat efektif, Miller tahu bahwa dalam pakem film aksi narasinya tidak boleh sampai mendominasi action-nya, tetapi bukan berarti naskahnya tidak diperlakukan dengan baik. Premisnya di reset ulang,  misi utama dari Fury Road ada pada keputusan karakter Furiosa yang nekat membelot demi sedikit harapan akan masa depan yang lebih baik. Furiosa jelas tahu konsekunsi dari perbuatannya yang melarikan aset berharaga bosnya yang bengis itu. Pasukan Immortan Joe yang terdiri dari banyak klan mematikan tentu saja tidak membiarkan Furiosa kabur begitu saja. Jadi yang kemudian terjadi di sepanjang film penontonnya akan menjadi saksi cerita pelarian terbesar tahun ini. Melintasi padang pasir rakasasa, bertahan hidup sembari mencari rumah baru demi kehidupan lebih baik.
Elemen menarik yang pernah kamu jumpai di trilogi Mad Max lawas, kembali disajikan Miller dengan konsep lama yang diperbaharui. Lihat saja desain cyberpunk yang meliputi kostum, make-up, set dan lebih dari 150 lebih kendaraan-kendaraan tempur yang terlihat norak dan keren di saat bersamaan yang mungkin sanggup membuat Tim Burton orgasme. 

Menariknya lagi adalah mengetahui fakta bahwa setiap rig (kendaraan rakitan) di Fury Road benar-benar adalah kendaraan asli yang benar-benar bisa dijalankan, bukan sekedar CGI, hal ini jelas membuat setiap rangkaian aksinya menjadi terasa lebih nyata, termasuk setiap ledakan dan tabrakan logam-logamnya. Berbicara soal aksi, Fury Road punya semua yang kamu butuhkan di sebuah action movie kejar-kejaran. Cepat, menengangkan, seru dan indah. Ya, setiap aspek aksi di Fury Road digarap dengan teknis luar biasa. Untuk sebuah film yang bersetting padang gurun tandus, visual garapan John Seale (Harry Potter and the Philosopher’s Stone, Prince of Persia: The Sands of Time) tersaji begitu indah lengkap setiap lanskapnya, Tidak hanya itu, kamera Seale mampu bergerak dinamis menangkap setiap gesekan dan hantaman yang terjadi dari setiap rig yang bersenggolan keras. Sementara editing dari Margaret Sixel yang rapi dan detil membuat penonton tidak pernah kehilangan satu pun momen berharganya, tidak peduli seberapa cepat aksinya digenjot. Tidak sampai di situ, Miller menaikan level aksinya lebih tinggi dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya, atau bahkan sineas lain pernah lakukan. Tensi ketegangan terjaga dengan baik dari awal sampai akhir, elemen gore mampu berpadu padang dengan setiap kegilaan berlebih dengan maksimal, sementara dentuman scoring dari Junkie XL nyaris tidak pernah absen membuat jantung lo semua yang nonton berdebar kencang.
Karakterisasi dalam dunia Mad Max mungkin bisa dibilang sama pentingnya dengan setiap sekuen aksinya. Alih-alih memberi setiap tokohnya latar belakang yang kelewat panjang, Miller memilih untuk mempersingkatnya dengan fragmen-fragmen masa lalu dan cerita-cerita yang keluar dari setiap mulut tokohnya. Misalnya seperti jagoan kita, Max yang bolak-balik dihantui masa lalunya. Menarik adalah melihat set waktunya. Max sudah memiliki supercharged V8 yang berarti latarnya seperti berada di antara dua sekuel awalnya, The Road Warrior dan Beyond Thunderdome, masalahnya Miller tidak pernah benar-benar jelas memberikan detilnya, membuat status Fury Road seperti mengambang, apakah ia sekuel, remake, reboot atau kombinasi dari ketiganya? Pada akhirnya kita tidak akan terlalu memperdulikan itu semua.  Sementara kita akan mengenal siapa Imperator Furiosa lebih dekat ketika film mendekati menit-menit akhir. Berbicara soal Furiosa, bisa jadi ia adalah karakter terpenting di Fury Road, bahkan ironisnya jauh lebih penting dari karakter Max sendiri. Entah karena narasinya memang membuat peran Furiosa tampak lebih krusial, atau memang Tom Hardy sendiri tak mampu memberikan pesona sekuat Mel Gibson dulu. Yang pasti, untuk sebuah film yang terlihat banyak mengumbar banyak testoteron, Fury Road terlihat lebih feminim ketimbang pendahulunya dengan dukungan supporting cast hawa sebanyak itu, tetapi tenang saja, ia masih tampil sangat macho dan bengis meskipun banyak ditumpangi paras-paras cantik.


Sementara untuk karkater antagonis, Fury Road punya Immortan Joe, pimpinan sekaligus raja dari pada War Boys yang tidak pernah berhenti memberi teror dengan penampilannya yang mengerikan diperankan oleh aktor Australia, Hugh Keays-Byrne yang juga pernah menjadi villain utama di seri pertama Mad Max 1979 silam.
Terima KAsih sudah membaca short storyku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar